REGULASI BISNIS DI BIDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
Peraturan tentang hukum perlindungan konsumen telah
diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Pada tanggal 30 Maret 1999, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati
rancangan undang-undang (RUU) tentang perlindungan konsumen untuk disahkan oleh
pemerintah setelah selama 20 tahun diperjuangkan. RUU ini sendiri baru disahkan
oleh pemerintah pada tanggal 20 April 1999.
Di samping UU Perlindungan Konsumen, masih terdapat
sejumlah perangkat hukum lain yang juga bisa dijadikan sebagai dasar hukum
adalah sebagai berikut:
1. Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Badan
Perlindungan Konsumen Nasional.
2. Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembinaan
dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen.
3. Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Lembaga Perlindungan
Konsumen Swadaya Masyarakat.
4. Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembentukan
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang,
Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota
Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota Malang, dan Kota Makassar.
Ada
dua jenis perlindungan yang diberikan kepada konsumen, yaitu :
1.
Perlindungan Priventif
Perlindungan yang diberikan kepada konsumen pada saat
konsumen tersebut akan membeli atau menggunakan atau memanfaatkan suatu barang
dan atau jasa tertentu, mulai melakukan proses pemilihan serangkaian atau
sejumlah barang dan atau jasa tersebut dan selanjutnya memutuskan untuk membeli
atau menggunakan atau memanfaatkan barang dan jasa dengan spesifikasi tertentu
dan merek tertentu tersebut.
2.
Perlindungan Kuratif
Perlindungan yang diberikan kepada konsumen sebagai
akibat dari penggunaan atau pemanfaatan barang atau jasa tertentu oleh
konsumen. Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa konsumen belum tentu dan tidak
perlu, serta tidak boleh dipersamakan dengan pembeli barang dan atau jasa,
meskipun pada umumnya konsumen adalah mereka yang membeli suatu barang atau
jasa. Dalam hal ini seseorang dikatakan konsumen, cukup jika orang tersebut
adalah pengguna atau pemanfaat atau penikmat dari suatu barang atau jasa, tidak
peduli ia mendapatkannya melalui pembelian atau pemberian.
Komentar
Posting Komentar